Tradisi Kupatan di Blitar, Merawat Warisan Budaya dalam Bingkai Silaturahmi dan Makna
Lebaran Ketupat atau lebih akrab disebut "Kupatan" merupakan salah satu tradisi khas masyarakat Jawa, termasuk di wilayah Blitar, Jawa Timur.
Tradisi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian perayaan Idulfitri yang memiliki makna lebih dalam dari sekadar momen makan bersama.
Kupatan di Blitar bukan hanya tradisi kuliner semata, tetapi juga mencerminkan semangat kebersamaan, penghormatan terhadap leluhur, serta wujud dari akulturasi nilai-nilai spiritual dan sosial yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Kupatan, Penutup dan Perpanjangan Hari Raya
Kupatan di Blitar biasanya dilakukan sekitar seminggu setelah Hari Raya Idulfitri, yakni pada hari ketujuh bulan Syawal. Secara tradisional, masyarakat meyakini bahwa Hari Raya sebenarnya belum selesai pada 1 Syawal, melainkan masih berlanjut hingga perayaan kupatan.
Tradisi ini menjadi semacam tanda "penutup" Hari Raya, di mana setelah seminggu saling bersilaturahmi dan berkunjung ke rumah sanak keluarga, masyarakat kemudian mengadakan acara kupatan sebagai simbol syukur dan refleksi.
Meski begitu, tidak ada aturan baku mengenai kapan tepatnya kupatan harus dilaksanakan. Dalam praktiknya, ada keluarga yang melakukannya pada hari pertama Idulfitri, terutama di kalangan masyarakat urban yang lebih fleksibel dan tidak menganggap kupatan sebagai bagian sakral dari tradisi.
Bagi mereka, kupatan hanyalah tradisi kuliner dan perayaan sosial tanpa muatan spiritual yang mendalam.
Namun, bagi masyarakat tradisional di pedesaan Blitar dan sekitarnya, kupatan masih memiliki posisi penting. Tradisi ini menjadi momentum khusus untuk menyambung silaturahmi sekaligus mengenang dan mendoakan keluarga yang telah meninggal dunia.
Mengirim Ketupat, Simbol Kebersamaan dan Berbagi
Salah satu ciri khas dari tradisi kupatan di Blitar adalah kebiasaan saling mengirim ketupat ke rumah tetangga, kerabat, atau orang-orang terdekat.
Biasanya ketupat dihidangkan bersama lauk khas seperti opor ayam, sayur lodeh, sambal goreng ati, atau daging lapis.
Masing-masing keluarga akan membuat beberapa porsi ketupat dan lauk pauk, lalu membaginya kepada tetangga atau orang-orang yang dianggap dekat.
Tindakan ini menjadi bentuk kecil dari sedekah dan perwujudan rasa syukur atas berkah Ramadan dan Idulfitri.
Yang menarik, pengiriman ketupat ini dilakukan secara informal tanpa undangan resmi. Tidak jarang seseorang datang hanya untuk menitipkan ketupat dan mengucapkan salam.
Bahkan di beberapa desa di Blitar, ada tradisi khusus di mana masyarakat berkumpul di satu titik untuk menggelar makan bersama dengan hidangan kupat sebagai sajian utama.
Hal ini menunjukkan betapa tradisi kupatan memperkuat nilai gotong royong dan kebersamaan.
Tidak Semua Merayakan Kupatan
Meskipun begitu, tidak semua keluarga di Blitar merayakan tradisi kupatan. Perbedaan pandangan dan gaya hidup, terutama antara generasi tua dan muda, seringkali memengaruhi keberlanjutan tradisi ini.
Generasi muda yang hidup di kota dan telah mengalami modernisasi sering kali tidak memahami makna mendalam dari kupatan.
Bagi mereka, Idulfitri cukup dirayakan satu hari, dan sisanya digunakan untuk berlibur atau kembali ke aktivitas rutin.
Selain itu, perbedaan latar belakang budaya dan keyakinan juga memengaruhi. Ada kalangan yang menganggap tradisi kupatan tidak memiliki dasar keagamaan yang kuat sehingga tidak perlu dilakukan.
Meski tidak salah, anggapan ini perlahan membuat tradisi kupatan mengalami pergeseran nilai dan mulai ditinggalkan di beberapa lingkungan.
Namun, bagi sebagian keluarga yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai lokal, kupatan tetap dipertahankan, bahkan dijadikan ajang untuk memperkenalkan budaya kepada anak cucu agar mereka tidak kehilangan akar tradisinya.
Kupatan Sebagai Doa untuk Leluhur
Aspek spiritual dari kupatan juga tak bisa dilepaskan dari praktik masyarakat tradisional Blitar, dalam beberapa keluarga, kupatan tidak hanya dilakukan sebagai ajang silaturahmi dan makan bersama, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah wafat.
Setelah memasak ketupat dan lauk pauk, sebagian orang akan membawanya ke makam keluarga untuk berziarah dan memanjatkan doa.
Tindakan ini dianggap sebagai wujud rasa terima kasih dan bakti kepada orang tua dan kerabat yang telah tiada, dengan membawa ketupat ke makam, masyarakat meyakini bahwa mereka mengajak serta ruh leluhur untuk ikut merasakan kebahagiaan Hari Raya.
Ini menjadi bentuk harmoni antara kehidupan dan kematian yang khas dalam budaya Jawa.
Bahkan dalam filosofi ketupat sendiri, terdapat makna simbolik yang dalam. Kata "ketupat" dipercaya berasal dari kata "ngaku lepat" (mengakui kesalahan) dan "laku papat" (empat tindakan), yang merujuk pada empat fase kehidupan spiritual: puasa, salat, zakat, dan haji.
Anyaman ketupat melambangkan kerumitan hidup manusia yang kemudian diisi dengan beras sebagai simbol kesejahteraan setelah melalui perjuangan spiritual di bulan Ramadan.
Kupatan di Era Modern, Antara Tradisi dan Adaptasi
Dalam masyarakat modern, terutama di perkotaan Blitar, tradisi kupatan mengalami penyesuaian. Kupatan tidak lagi dianggap sakral, melainkan hanya sebagai perayaan tambahan setelah Idulfitri.
Beberapa keluarga memilih untuk melakukan acara makan bersama tanpa ketupat, atau bahkan menggantinya dengan hidangan lain yang lebih praktis.
Media sosial dan gaya hidup digital juga membawa perubahan dalam cara orang merayakan kupatan. Alih-alih mengunjungi rumah tetangga secara langsung, ucapan kupatan kini bisa dikirim lewat pesan singkat atau media sosial.
Meskipun efisien, hal ini perlahan mengikis makna silaturahmi fisik yang menjadi inti dari tradisi tersebut.
Namun demikian, masih banyak komunitas dan keluarga di Blitar yang berusaha menjaga nilai-nilai asli kupatan.
Mereka memadukan tradisi lama dengan sentuhan baru tanpa meninggalkan esensi utamanya: berbagi, bersyukur, dan mempererat tali silaturahmi.
Kupatan Sebagai Warisan Budaya
Kupatan di Blitar adalah cermin dari kearifan lokal yang mengandung nilai sosial, spiritual, dan budaya. Ia bukan sekadar perayaan tambahan, tetapi merupakan cara masyarakat untuk merawat harmoni sosial dan spiritual setelah Ramadan.
Di tengah arus modernisasi yang kian cepat, mempertahankan tradisi seperti kupatan bukan hanya bentuk pelestarian budaya, tetapi juga pengingat bahwa makna Idulfitri tak hanya berhenti pada saling memaafkan, tetapi juga tentang menyambung kembali yang terputus dan mengenang yang telah tiada.
Kupatan adalah pengingat bahwa setiap tradisi punya cerita, dan setiap cerita layak untuk diteruskan.
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini